Pronembuifai.com - Pemerintah sedang mengkaji kenaikan tarif Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) bersamaan bersama implementasi kelas rawat inap standar atau KRIS. Lalu bagaimana dampaknya ke iuran BPJS Kesehatan untuk selanjutnya?

Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Lily Kresnowati mengatakan pihaknya sedang menyusun kajian costing pembiayaan perihal kebijakan kelas rawat inap standar atau KRIS, juga kenaikan tarif layanan kesehatan untuk INA-CBG’s dan besaran iuran BPJS Kesehatan.

Adapun tarif INA CBGs adalah rata-rata cost yang dihabiskan untuk suatu grup diagnosis, kapitasi hingga iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan kepada tempat tinggal sakit atau layanan layanan kesehatan.

“Costing tidak bisa dibandingkan serta-merta iuran. Sampai 2024 tidak boleh tersedia kenaikan iuran, semua kebijakan yang tersedia tidak berkata perubahan iuran,” ucap Lily di dalam Diskusi Dampak Kebijakan Kelas Standar BPJS Kesehatan Terhadap Pelayanan Pasien Ginjal, Rabu, 28 September 2022.

Saat ini, kata Lily, yang tetap dibahas adalah lebih fokus terhadap besaran tarif INA CBGs yang disesuaikan bersama anggaran, khususnya dikarenakan BPJS Kesehatan mencatatkan nilai surplus di akhir 2021 sebesar Rp 38,76 triliun.

Apalagi belum tersedia penyesuaian tarif tersebut sejak 2016. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) pun melihat posisi tarif tertinggal jauh berasal dari keadaan keekonomian khususnya terhadap inflasi yang meningkat.

“Meski BPJS (Kesehatan) surplus, terkecuali tidak hati-hati jangan hingga jatuh defisit. Karena bantuan layanan kesehatan dapat terganggu,” ujar Lily.

Lebih jauh, Lily menjelaskan, di dalam kajian kenaikan tarif INA CBGs itu juga dibahas pengelolaan dana BPJS terjaga hingga 2024 supaya iuran masyarakat tidak dapat mengalami kenaikan. Sebelumnya, pemerintah telah meningkatkan iuran BPJS Kesehatan terhadap 2020 akibat defisit yang dialami penyelenggara jaminan kesehatan tersebut terhadap 2019.

Adapun penerapan KRIS yang merupakan amanat Undang-Undang No. 40/2004 mengenai Sistem jaminan Sosial Nasional (SJSN) mulai ditunaikan uji cobalah sejak 1 September 2022 di empat tempat tinggal sakit vertikal. Keempat RS yang telah melaksanakan uji cobalah KRIS yaitu RSUP Abdullah Rivai Palembang, RSUP Surakarta, RSUP Tadjudin Chalid Makassar, dan RSUP Leimena Ambon.

Kriteria yang digunakan di dalam uji cobalah yaitu terdiri berasal dari 2 kelas (kelas 1 dan KRIS JKN). Sedangkan pembayaran layanan untuk uji cobalah KRIS pakai tarif INA-CBG’s sesuai bersama aturan undang-undang.

Menanti Kenaikan Tarif INA CBGs

Pada tanggal 14 September 2022, ARSSI (Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia) melayangkan surat kepada Menteri Kesehatan. Isi pokok surat tersebut mengenai permintaan kenaikan tarif INA CBGs, berdasarkan aturan menteri Kesehatan no. 52 thn 2016 mengenai standar tarif layanan kesehatan di dalam program jaminan Kesehatan (JKN) yang tetap berlaku hingga selagi ini mengingat lebih berasal dari enam th. belum ditunaikan kenaikan.

Di segi lain, cost layanan Kesehatan dan beban operasional tempat tinggal sakit tiap-tiap th. mengalami kenaikan supaya ARSSI melalui suratnya mendesak Kementerian Kesehatan RI untuk meningkatkan tarif INA CBGs sebesar 30 persen bersamaan bersama kenaikan harga barang, BBM, UMR yang meningkat serta kenaikan PPn. 

Tarif yang saat ini mengakibatkan resah kalangan pengelola tempat tinggal sakit, pemda dan tenaga kesehatan yang berimbas bersama layanan yang berbasis pasien safety dan kesejahteraan tenaga Kesehatan yang selagi ini belum optimal dan berkeadilan. 

Semenjak penerapan program JKN di Indonesia, ditemukan tetap banyak problem seperti persoalan revenue collection, pooling, kontrol kualitas layanan kesehatan dan lain-lain. 

Dalam sebuah seminar mengenai JKN, narasumber DSJN, BPJS dan pakar di dalam JKN mendiskusikan terjadinya tumpang tindih regulasi yaitu UU No.40 th. 2004 mengenai SJSN dan UU No.24 th. 2011 mengenai BPJS yang multi interpretasi supaya dianggap jadi penyebab masalah-masalah tersebut.

Perwakilan DJSN memaparkan bahwa JKN terlahir berasal dari jaminan sosial yang tujuannya adalah mendudukkan hubungan konstitusional antara negara bersama warga negara. Sampai selagi ini, Perpres No.12 th. 2013 mengenai jaminan kesehatan telah tiga kali direvisi. Hal ini tunjukkan adanya dinamika yang mengakomodasi bermacam keadaan yang ada. Perpres adalah hasil product hukum berasal dari stakeholders yang utamanya adalah publik. 

Kebutuhan untuk revisi UU SJSN dan UU BPJS amat besar khususnya di dalam peningkatan peran pemerintah dan publik. Narasumber BPJS Kesehatan mengutarakan bahwa BPJS sebagai pelaksana UU SJSN telah menggerakkan implementasi UU sesuai Pancasila sila ke-2 dan kelima. Pemanfaatan BPJS telah dirasakan oleh peserta yang memerlukan di mana selagi ini kuantitas peserta tersedia di atas 183 juta orang.